Oleh: Zaimuddin Ahya'
--Haji merupakan rukun Islam ke lima setelah syahadad, sholat, zakat, puasa (baca hadits jibril, arbain nawawi). Walaupun demikian ibadah yang satu ini dianggap sangat istimewa. Disamping memerlukan ongkos yang tidak sedikit, haji dilaksanakan di tempat yang istimewa bagi umat islam yaitu Makah Al-Mukaromah, kota lahirnya agama Islam sekaligus Nabinya.
--Haji merupakan rukun Islam ke lima setelah syahadad, sholat, zakat, puasa (baca hadits jibril, arbain nawawi). Walaupun demikian ibadah yang satu ini dianggap sangat istimewa. Disamping memerlukan ongkos yang tidak sedikit, haji dilaksanakan di tempat yang istimewa bagi umat islam yaitu Makah Al-Mukaromah, kota lahirnya agama Islam sekaligus Nabinya.
Melakukan ibadah haji adalah dambaan setiap
muslim, sehingga sebagian mereka rela hidup sederhana supaya dapat menabung
untuk ongkos naik haji. Haji dianggap sebagai ibadah penyempurna keislaman
seseorang. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang tambah rajin beribadah
setelah dia naik haji.
Haji adalah ibadah yang harus dilakukan
hanya karena Allah semata seperti halnya
ibadah-ibadah lain. Akan tetapi menumbuhkan rasa ikhlas dalam ibadah haji lebih
berat dari pada ibadah-ibadah yang lain. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antaara lain:
Pertama, haji
memerlukan ongkos yang tidak sedikit, karena itu orang yang telah mampu
menunaikan ibadah haji terkesan orang yang berkecukupan. Sehingga memungkinkan
timbulnya rasa unggul di atas orang-orang yang belum berhaji. Kedua, berubahnya
status sosial, karana ketika orang telah melaksanakan ibadah haji dia akan
lebih dihormati dan disegani oleh masyarakat. Hal ini bisa menimbulkan
hilangnya keikhlasan dan tumbuhnya keinginan untuk dihormati.
“Innamal ‘amalu binniyyat” sesuatu itu
tergantung niatnya, itulah sabda Rasulullah saw. Haji yang sebenarnya sebuah
ibadah bisa berubah menjadi kemaksiatan ketika niatnya salah. Jadi tidak heran
ketika ada seseorang yang sudah haji berkali-kali tetapi tidak punya moral
bahkan memanfa’atkan status hajinya untuk mencapai niat busuknya.
Kuota calon jama’ah haji tambah tahun tambah
meningkat, secara sekilas ini menandakan meningkatnya kesadaran keberagamaan
masyarakat. Akan tetapi kalau dilihat dari realita yang terjadi, semakin hari
moral masyarakat semakin menurun. Inikah yang dimaksud dengan naiknya kesadaran
keberagamaan? Lalu apakah haji hanya sebuah ritual balaka? Kalau seperti itu
buat apa susah payah mengumpulkan harta untuk menunaikan ibadah haji?
Mungkin masih banyak umat islam yang sebenarnya
tidak faham dengan hakikat haji itu sendiri. Sehingga mereka memahami haji
hanya sebagai ritual, bahkan tidak jarang yang menjadikannya kendaraan untuk
memperoleh kekuasaan. Fenomena seperti di atas juga didukung oleh adanya gelar
haji bagi mereka yang telah melakukan rukun islam kelima itu—mungkin hanya di Indonesia—contoh
kecil, banyak pejabat atau artis yang melaksanakan ibadah haji hanya untuk
menjaga nama baik dan popularitas pribadi. Karena dengan itu mereka bisa
menutupi aib-aib masa lalu yang membahayakan status mereka di depan publik.
Pandangan memilukan juga terjadi ditingkat
yang lebih rendah. Pertemuan ibu-ibu haji yang mengatasnamakan menyambung
silaturahim malahan menjadi ajang keglamoran dalam berbusana dan perhiasan, padahal
masih banyak orang-orang tidak mampu disekitar yang membutuhkan bantuan.
Hal serupa juga terjadi dikalangan elit
politik, banyak para pemimipin bangsa ini yang hajinya berkali-kali tapi
korupsinya juga tak mau berhenti, bahkan semakin hari semakin mejadi-jadi.
Menurut Gus Mus hal ini disebabkan haji mereka hanya haji daging, tidak sampai
pada ruh. Selama haji mereka adalah haji daging, ibadah haji tidak akan
berdampak kecuali hanya sekedar ritual formal belaka.
Haji
yang hanya sebatas daging akan menjadikan seseorang yang telah mengerjakan
ibadah haji ketika tidak di panggil dengan sebutan “pak haji” atau bu haji”
maka akan merasa direndahkan. Ini menunjukkan betapa tidak fahamnya umat islam
dengan ibadah haji itu sendiri.
“Haji adalah alat mencapai kehormatan” mungkin
ini ungkapan paling pas untuk umat islam di Indonesia. Banyak umat muslim
berbondong-bondong mendaftar haji sekedar ingin dipanggil “pak haji” atau “bu
haji”
Haji memang berupa ibadah fisik yang
seakan-akan tak berma’ana, tapi sebenarnya mempunyai ma’na yang lebih dari
sekedar ma’na. Kembali kepada sejarah, sebenarnya ibadah haji telah ada sebelum
Rasulullah saw. diutus, tepatnya haji adalah ritual yang disyari’atkan pada masa Nabi Ibrahim as. oleh
karena itu banyak bentuk ritual haji yang berhubungan dengan kehidupan beliau.
Misalnya “sa’i dari bukit sofa ke marwah”, ritual ini melukiskan bagaimana
payahnya siti hajar dalam mencari air dengan
penuh kesabaran yang pada akhirnya Allah meberikan pertolongan berupa air yang keluar
dari bongkahan batu yang tersentuh oleh kaki Nabi Isma’il as. Peristiwa
tersebut memberikan sebuah pelajaran bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan
usaha hambanya yang ikhlas. kemudian “wukuf di Arafah” di tempat itu semua
jama’ah haji berkumpul jadi satu tanpa memperhatikan pangkat dan status sosial.
Bagi mereka yang berpikir akan tersirat dari lubuk hati masing-masing bahwa
manusia pada hakikatnya tidak punya apa-apa dan mempunyai hak yang sama dimata Allah dan yang membedakan
hanyalah ketaqwaan. Kesadaran semacam ini akan medorong kepada perbaiakan moral
yang lebih baik. Akan tetapi, apakah kesadaran tersebut akan tumbuh begitu
saja?
Setidaknya umat islam dalam mengerjakan ibadah
haji bisa dibagi menjadi dua kelompok
Pertama, kelompok
yang hanya mengetahui bahwa haji adalah rukun islam ke lima yang wajib
dikerjakan bagi yang mampu
Kedua, kelompok
yang memahami haji bukan sekedar ritual belaka, tapi ada pengajaran perbaikan
moral didalamnya.
Salah satu faktor yang menyebabkan ketidak
fahaman umat islam kelompok pertama tentang
ma’na yang terkandung dalam ibadah haji adalah kurangnya pengarahan para
pembibing haji tentang ma’na ritual tersebut . dalam pelatihan, mereka lebih
menekankan kepada penguasaan syarat-rukun formal. Sehingga seakan-akan tak ada waktu
untuk menjelaskan ma’na hakiakat dari ibadah tersebut. Akhirnya haji tak bisa
berbuat banyak atas perbaikan moral jama’ah.
Kelompok kedua memang faham dengan ma’na
ibadah tersebut, akan tetapi belum tentu mereka dapat meresapi dan
mengaplikasikan dalam kehidupan, bahkan banyak dari mereka tambah bejat setelah
mengerjakan ibadah haji. Sebagaimana telah disinggung di atas, niat adalah
faktor yang sangat menentukan hasil.
Niat yang salah akan menghasilkan kesalahan, walaupun pekerjaan yang dikerjakan
sebenarnya baik.
Salahnya niat dalam berhaji berakibat fatal
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Salahnya niat di sini bukan disebabkan
karena ketidak tahuan, akan tetapi tertutupnya hati mereka dari cahaya
kebenaran karena begitu cinta kepada dunia dan kekuasaan. Maka ibadah haji tidak bisa membantu banyak dalam
perbaikan moral bangsa selama orientasi berhaji keluar dari jalan semestinya.
Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment