Labels

Thursday 31 January 2013

Haji, Antara Ibadah dan Kehormatan?

Oleh: Zaimuddin Ahya'
--Haji merupakan rukun Islam ke lima setelah syahadad, sholat, zakat, puasa (baca hadits jibril, arbain nawawi). Walaupun demikian ibadah yang satu ini dianggap sangat istimewa. Disamping memerlukan ongkos yang tidak sedikit, haji dilaksanakan di tempat yang istimewa bagi umat islam yaitu Makah Al-Mukaromah, kota lahirnya agama Islam sekaligus Nabinya.
Melakukan ibadah haji adalah dambaan setiap muslim, sehingga sebagian mereka rela hidup sederhana supaya dapat menabung untuk ongkos naik haji. Haji dianggap sebagai ibadah penyempurna keislaman seseorang. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang tambah rajin beribadah setelah dia naik haji.
Haji adalah ibadah yang harus dilakukan hanya  karena Allah semata seperti halnya ibadah-ibadah lain. Akan tetapi menumbuhkan rasa ikhlas dalam ibadah haji lebih berat dari pada ibadah-ibadah yang lain. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, antaara lain:
Pertama, haji memerlukan ongkos yang tidak sedikit, karena itu orang yang telah mampu menunaikan ibadah haji terkesan orang yang berkecukupan. Sehingga memungkinkan timbulnya rasa unggul di atas orang-orang yang belum berhaji. Kedua, berubahnya status sosial, karana ketika orang telah melaksanakan ibadah haji dia akan lebih dihormati dan disegani oleh masyarakat. Hal ini bisa menimbulkan hilangnya keikhlasan dan tumbuhnya keinginan untuk dihormati.
“Innamal ‘amalu binniyyat” sesuatu itu tergantung niatnya, itulah sabda Rasulullah saw. Haji yang sebenarnya sebuah ibadah bisa berubah menjadi kemaksiatan ketika niatnya salah. Jadi tidak heran ketika ada seseorang yang sudah haji berkali-kali tetapi tidak punya moral bahkan memanfa’atkan status hajinya untuk mencapai niat busuknya.
Kuota calon jama’ah haji tambah tahun tambah meningkat, secara sekilas ini menandakan meningkatnya kesadaran keberagamaan masyarakat. Akan tetapi kalau dilihat dari realita yang terjadi, semakin hari moral masyarakat semakin menurun. Inikah yang dimaksud dengan naiknya kesadaran keberagamaan? Lalu apakah haji hanya sebuah ritual balaka? Kalau seperti itu buat apa susah payah mengumpulkan harta untuk menunaikan ibadah haji?
Mungkin masih banyak umat islam yang sebenarnya tidak faham dengan hakikat haji itu sendiri. Sehingga mereka memahami haji hanya sebagai ritual, bahkan tidak jarang yang menjadikannya kendaraan untuk memperoleh kekuasaan. Fenomena seperti di atas juga didukung oleh adanya gelar haji bagi mereka yang telah melakukan rukun islam kelima itu—mungkin hanya di Indonesia—contoh kecil, banyak pejabat atau artis yang melaksanakan ibadah haji hanya untuk menjaga nama baik dan popularitas pribadi. Karena dengan itu mereka bisa menutupi aib-aib masa lalu yang membahayakan status mereka di depan publik.
Pandangan memilukan juga terjadi ditingkat yang lebih rendah. Pertemuan ibu-ibu haji yang mengatasnamakan menyambung silaturahim malahan menjadi ajang keglamoran dalam berbusana dan perhiasan, padahal masih banyak orang-orang tidak mampu disekitar yang membutuhkan bantuan.
Hal serupa juga terjadi dikalangan elit politik, banyak para pemimipin bangsa ini yang hajinya berkali-kali tapi korupsinya juga tak mau berhenti, bahkan semakin hari semakin mejadi-jadi. Menurut Gus Mus hal ini disebabkan haji mereka hanya haji daging, tidak sampai pada ruh. Selama haji mereka adalah haji daging, ibadah haji tidak akan berdampak kecuali hanya sekedar ritual formal belaka.
 Haji yang hanya sebatas daging akan menjadikan seseorang yang telah mengerjakan ibadah haji ketika tidak di panggil dengan sebutan “pak haji” atau bu haji” maka akan merasa direndahkan. Ini menunjukkan betapa tidak fahamnya umat islam dengan ibadah haji itu sendiri.
“Haji adalah alat mencapai kehormatan” mungkin ini ungkapan paling pas untuk umat islam di Indonesia. Banyak umat muslim berbondong-bondong mendaftar haji sekedar ingin dipanggil “pak haji” atau “bu haji”
Haji memang berupa ibadah fisik yang seakan-akan tak berma’ana, tapi sebenarnya mempunyai ma’na yang lebih dari sekedar ma’na. Kembali kepada sejarah, sebenarnya ibadah haji telah ada sebelum Rasulullah saw. diutus, tepatnya haji adalah ritual yang  disyari’atkan pada masa Nabi Ibrahim as. oleh karena itu banyak bentuk ritual haji yang berhubungan dengan kehidupan beliau. Misalnya “sa’i dari bukit sofa ke marwah”, ritual ini melukiskan bagaimana payahnya siti hajar  dalam mencari air dengan penuh kesabaran yang pada akhirnya Allah meberikan pertolongan berupa air yang keluar dari bongkahan batu yang tersentuh oleh kaki Nabi Isma’il as. Peristiwa tersebut memberikan sebuah pelajaran bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hambanya yang ikhlas. kemudian “wukuf di Arafah” di tempat itu semua jama’ah haji berkumpul jadi satu tanpa memperhatikan pangkat dan status sosial. Bagi mereka yang berpikir akan tersirat dari lubuk hati masing-masing bahwa manusia pada hakikatnya tidak punya apa-apa dan mempunyai hak  yang sama dimata Allah dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan. Kesadaran semacam ini akan medorong kepada perbaiakan moral yang lebih baik. Akan tetapi, apakah kesadaran tersebut akan tumbuh begitu saja?
Setidaknya umat islam dalam mengerjakan ibadah haji bisa dibagi menjadi dua kelompok
Pertama, kelompok yang hanya mengetahui bahwa haji adalah rukun islam ke lima yang wajib dikerjakan bagi yang mampu
Kedua, kelompok yang memahami haji bukan sekedar ritual belaka, tapi ada pengajaran perbaikan moral didalamnya.
Salah satu faktor yang menyebabkan ketidak fahaman umat islam  kelompok pertama tentang ma’na yang terkandung dalam ibadah haji adalah kurangnya pengarahan para pembibing haji tentang ma’na ritual tersebut . dalam pelatihan, mereka lebih menekankan kepada penguasaan syarat-rukun formal. Sehingga seakan-akan tak ada waktu untuk menjelaskan ma’na hakiakat dari ibadah tersebut. Akhirnya haji tak bisa berbuat banyak atas perbaikan moral jama’ah.
Kelompok kedua memang faham dengan ma’na ibadah tersebut, akan tetapi belum tentu mereka dapat meresapi dan mengaplikasikan dalam kehidupan, bahkan banyak dari mereka tambah bejat setelah mengerjakan ibadah haji. Sebagaimana telah disinggung di atas, niat adalah faktor  yang sangat menentukan hasil. Niat yang salah akan menghasilkan kesalahan, walaupun pekerjaan yang dikerjakan sebenarnya baik.
Salahnya niat dalam berhaji berakibat fatal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Salahnya niat di sini bukan disebabkan karena ketidak tahuan, akan tetapi tertutupnya hati mereka dari cahaya kebenaran karena begitu cinta kepada dunia dan kekuasaan. Maka ibadah haji tidak bisa membantu banyak dalam perbaikan moral bangsa selama orientasi berhaji keluar dari jalan semestinya. Wallahu ‘alam.




No comments:

Post a Comment

Blogroll