Oleh:
Zaimuddin Ahya’
--RUU
PILKADA telah disahkan dengan cara voting setelah tidak ditemukannya
kesepakatan. Dalam proses pengesahan RUU PILKADA para Legislator kita terbagi
menjadi tiga kubu, dua diantaanya adalah kubu yang bersebrangan dalam pemilihan
Presiden 9 juni 2014. Sedangkan satu kubu yang lain mengajukan opsi yang
diyakini sebagai penengah, tapi akhirnya mereka memilih walk out setelah opsi mereka ditolak.
Kubu
yang mendukung pengesahan RUU PILKADA tersebut beralasan bahwa pilkada langsung
oleh rakyat banyak mandaratnya dari
pada manfaatnya, diantaranya adalah mony politik, biayaya yang besar dan
merusak moral masyarakat, sedangkan yang mendukung pilkada langsung berdalih
bahwa pengembalian pilkada oleh DPR itu adalah pencabutan hak politik rakyat
dan gerak mundur dari proses pendewasaan demokrasi.
Jika kita kembali ke proses RUU PILKADA, dari mulai
pengajuan sampai pengesahan menjadi UU, ternyata ada sesuatu yang menggelitik
dan janggal. Pada awalnya RUU PILKADA diajukan oleh Pemerintah kepada DPR,
Pemerintah mengusulkan pemilihan Gubernur oleh DPR sedangkan Bupati dan
walikota oleh rakyat. Pada perkembangannya, pemerintah mengusulkan pemilihan
Gubernur oleh rakyat, sedangkan Bupati dan Walikota oleh DPR.
Usulan di atas ditolak oleh enam fraksi dari Sembilan
fraksi DPR, mereka bersikukuh pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara
langsung oleh rakyat. Akhirnya, Pemerintahpun mengeluarkan pernyataan
mensetujui pemilihan Kepala Daerah oleh rakyat. Setelah hampir dua tahun RUU
ini di bahas di DPR, tiba-tiba ada hal yang mengejutkan, kubu yang tadinya
mendukung pilkada langsung, berbalik seratus delapan puluh derajat dengan
mensetujui pilkada oleh DPR, mereka adalah yang terkumpul dalam Koalisi Merah
Putih (KMP) (Kompas; Ramlan Surbakti)
Terusan
Pilpers 2014
Perubahan sikap
Koalisi Merah Putih mengundang su’udzon
dari banyak pihak. Perubahan sikap tersebut dianggap sebagai balas dendam atas
kekalahan mereka dalam pilpers kemarin. Anggapan ini juga dikuatkan dengan
adanya pengesahan perubahan UU MD3 saat perhatiannya tertuju pada pilpers, yang
isinya juga menguatkan pihak Koalisi Merah Putih yang menggelembung dalam
parlemen.
Kalau melihat sikap salah satu pemimpin Koalisi Merah
Putih, Prabowo Subianto saat dinyatakan kalah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dalam pilpers 2014, dia bersikukuh menggugat hasil hitungan KPU ke Mahkamah
Konstitusi (MK), walaupun akhirnya gugatan tersebut kandas. Maka wajar, jika
pengasahan RUU PILKADA ini dianggap sebagai perlawanan yang belum tuntas di
pilpers 2014
Kamuflase
Kekecewaan
Susilo Bambang
Yudhoyono mengungkapkan kekecewaanya di media sosial atas putusan DPR yang
mengesahkan RUU PILKADA, dia juga mengaku akan bersama rakyat menggagalkan UU
PILKADA tersebut. Dilain pihak, rakyat menanggapi kekecewaaan SBY dengan
cibiran, mereka menganggap SBY hanya cari nama.
Cibiran rakyat cukup beralasan, karena jika SBY serius
ingin menggagalkan pengesahan UU PILKADA, seharusnya dia menolak secara
langsung atau melewati MENDAGRI, sebagaimana tertulis dalam pasal 20 ayat 2 dan
ayat 3 UUD 1945, disebutkan setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama (ayat 2), jika RUU tersebut tidak mendapatkan
persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR
masa itu (ayat 3). Maka jika SBY baru menolak setelah RUU itu disahkan, itu
sia-sia, karena RUU yang telah disahkan bersama akan menjadi UU dengan atau
tanpa tanda tangan Presiden
Perppu = Slilit Bagi DPR
Entah karena
serius ingin mengembalikan pilkada lansung oleh rakyat atau hanya ingin
terlihat heroik, SBY memutuskan mengeluarkan dua Perppu sebagai langkah politik
Presiden mengembalikan pilkada langsung, namun SBY sendiri menyatakan bahwa
Perppu bisa menjadi UU jika disahkan oleh DPR 2014-2019.
Melihat fakta, bahwa DPR 2014-2019 dikuasai oleh Koalisi
Merah Putih yang notabennya mendukung pilkada oleh DPR, apakah mungkin hanya
dengan diajukannya Perppu oleh Presiden, mereka berbalik arah dengan mensetujui
PILKADA langsung? Maka, sudah sewajarnya, langkah politik SBY—walaupun seolah mendukung pilkada langusng—dicurigai
sebagai pencitraan di akhir periodenya.
Bagi DPR, Perpuu yang dikeluarkan Presiden tidaklah
menjadi persoalan yang serius, karena DPR mempunyai hak mengesahkan atau
menolak. Disisi lain, sudah jama’ diketahui bahwa tidak berlaku lagi di Senayan
pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat, semuanya ditentukan
dengan voting sebagaimana kita ketahui dalam beberapa persidangan (UU MD3 dan
UU PILKADA). Maka, jelaslah nasib Perpuu ada ditangan mayoritas, yaitu Koalisi
Merah Putih
Counter
Attack
KMP
Koalisi Merah
Putih semakin menggila, setelah menang dalam pengesahan UU MD3 dan UU PILKADA,
sekarang mereka berhasil menguasai kursi kepimimpinan di DPR, ketua dan empat
wakil ketua DPR, semuanya dari partai-partai yang tergabung dalam koalisi merah
putih. Bahkan, dikabarkan selanjutnya mereka mengincar kepemimpinan di MPR.
Ternyata
kekalahan koalisi merah putih dalam pilpers 2014 bukan akhir dari segalanya,
mereka menggalang kekuatan dan menjelma lewat lembaga legislatif yang juga mempunyai
power dalam mengatur kebijakan Negara. Jadi, sekarang Indoseia dikuasai dua
kekuatan besar yang menjelma dalam dua intansi Negara tertinggi, Koalisi
Indonesia Hebat menguasai Pemerintahan dan koalisi merah putih menguasai
Parlemen. Dengan ini, kayaknya sudah tidak ada lagi idologi partai, semua telah
merapat, yang ada hanya kontrak politik, walaupun penulis berharap dugaannya
ini salah, semoga.
No comments:
Post a Comment